Powerful Words by Heart
Penulis : Dra Puspita Zorawar, Mpsi.T, Expertise Personal Development Indonesia.
Pada suatu kesempatan, saya pernah menjadi salah satu pembicara dalam seminar mahasiswa di Jakarta dengan judul “Wordsmart di Era Multimedia”. Salah satu topik yang dibahas pada waktu itu adalah kemampuan menyampaikan gagasan melalui kata-kata atau tulisan merupakan salah satu potensi besar yang dapat menjadi alternatif profesi di masa kini.
Howard Gardner, penulis Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), berpendapat bahwa di antara ketujuh kecerdasan yang dimiliki manusia, salah satu di antaranya adalah kecerdasan bahasa. Ini merupakan suatu kepekaan terhadap bahasa lisan atau bahasa tulis (baca: kata-kata). Seseorang dengan kecerdasan ini akan mampu mempelajari bahasa dengan cepat serta menggunakannya dengan tepat.
Rangkaian kata yang mengandung arti (lazim kita sebut kalimat) merupakan bagian yang sangat penting dalam proses berkomunikasi. Dengan demikian, tujuan berkomunikasi kita akan tercapai. Walau dalam proses komunikasi sering ketika sender (komunikator) menyampaikan pesan kepada receiver (komunikan), terjadi banyak variabel yang sering menjadi penghalang pesan dapat diterima dengan baik, namun saya ingin menyampaikan bahwa hampir 80 persen proses berkomunikasi diwakili oleh rangkaian kata.
Seorang pengarang buku best seller menggunakan kata-kata yang tepat untuk menghibur, menginformasikan pengetahuan, atau memberi motivasi, memberi manfaat kepada orang lain (pembacanya), sehingga buku-buku mereka dapat laris dibeli orang.
Namun, di sisi lain, oleh pihak lain, rangkaian kata juga dapat digunakan untuk mengungkapkan emosi seseorang, untuk menuduh, memfitnah, memaki-maki orang lain, bahkan mengintimidasi seseorang.
Tidak lama setelah seminar tersebut, seorang senior saya, sebut saja Pak Adit, seorang direktur di sebuah perusahaan multinasional menelepon saya dari luar pulau dalam sebuah perjalanan dinasnya. Selain karena akan mengoordinasikan suatu hal, beliau juga menceritakan kegemasannya pada seseorang, sebut saja Pak Hiro.
Pak Adit bercerita bahwa Pak Hiro telah melakukan tindakan tidak terpuji sebagai seorang profesional, menelepon sekretarisnya dengan “penuh amarah”. Ia memaki-maki sang sekretaris karena permohonannya agar Pak Adit dapat menjadi pembicara dalam suatu sarasehan internal perusahaan tempat Pak Hiro bekerja tidak kunjung mendapat tanggapan.
Sementara itu, menurut sekretaris Pak Adit, hal tu terjadi karena jadwal Pak Adit padat sekali sehingga sekretaris Pak Adit belum dapat memberikan konfirmasi sebagai pembicara, seperti yang diminta oleh Pak Hiro. Pak Adit memang salah seorang ahli di Indonesia dalam materi yang diajukan Pak Hiro untuk sarasehan internal di perusahaannya.
Pak Hiro merasa memiliki kuasa dengan mengatasnamakan sebuah perusahaannya untuk “memaksa” Pak Adit memberikan konfirmasi segera, karena tentu saja event internal tersebut akan lebih menarik kehadiran para karyawan perusahaan tersebut jika dapat menghadirkan Pak Adit.
Namun, apa yang terjadi pada akhirnya? Karena kata-kata yang penuh amarah, ditambah dengan penyampaian dengan emosi tinggi dari Pak Hiro, tanpa berpikir panjang, tanpa melihat perusahaan apa yang mengundang, langsung saja Pak Adit memutuskan menolak permintaan tersebut.
Bahkan, Pak Adit menginstruksikan kepada sang sekretaris bahwa jika suatu ketika ada permintaan lagi dari Pak Hiro, sebaiknya langsung saja ditolak dengan cara yang profesional.
Pak Adit tidak tertarik lagi kepada content (isi pesan) yang disampaikan oleh Pak Hiro melalui sekretarisnya, namun hanya satu hal yang menjadi pertimbangan Pak Adit, yaitu context (situasi) bahwa seseorang telah meminta sesuatu dengan penuh amarah adalah tindakan yang tidak profesional.
The real art of conversation is not only to say the right thing at the right time, but also to leave unsaid the wrong thing at the tempting moment.
Kata-kata yang disampaikan pada saat kita berkomunikasi, dengan siapa pun, selalu keluar dari hati kita. Kata-kata yang penuh amarah justru berpotensi menggagalkan tujuan proses berkomunikasi. Kata-kata yang penuh amarah dari Pak Hiro, membuat Pak Adit tidak pernah merasa trust (percaya) lagi kepada Pak Hiro.
Kata-kata seperti pedang, seperti pedang bermata dua. Ketika kita berkomunikasi, setelah kita mendengarkan pihak lain, kemudian pada saat kita akan memberikan feedback, kata-kata yang kita rangkai dengan benar, kita sampaikan secara asertif, dalam waktu yang tepat akan membuahkan hasil luar biasa. Itulah the powerful word by heart, yang akan sangat berpengaruh apakah komunikasi kita dapat efektif atau tidak.
Kata-kata yang kita sampaikan dalam proses komunikasi kita, sudah seharusnya mewakili isi hati kita. Kata-kata yang telah kita sampaikan kepada orang lain, tidak akan lenyap diterbangkan angin dan hilang begitu saja. Setiap perkataan kita akan mempunyai makna tertentu bagi yang mendengarkannya.
Hati kitalah yang menentukan apakah kita berkata-kata untuk memberikan manfaat kepada orang lain atau tidak.
Ketika kita ingin membangun generasi muda untuk menjadi pemimpin yang lebih baik di masa yang akan datang, kata-kata yang kita sampaikan kepada mereka adalah kata-kata yang memercayakan sebuah tanggung jawab kepada mereka, misalnya “Kalian pasti bisa menyelesaikan ujian dengan baik, bahkan dapat berprestasi lebih baik lagi dari semester sebelumnya”. Sebaiknya kita tidak hanya menyampaikan kata-kata yang sekadarnya, misalnya “Kalau ujian, kalian jangan lupa belajar ya...”
Pernyataan pertama dan pernyataan yang kedua akan menghasilkan dampak yang berbeda. Pernyataan pertama mengandung arti: memercayakan tanggung jawab, mendukung perolehan prestasi yang meningkat dari sebelumnya, membuka diskusi (open communications) lebih jauh tentang bagaimana solusi untuk mencapai prestasi yang lebih baik lagi.
Namun, komunikasi dengan pernyataan yang kedua, hanyalah sekadar mengingatkan bahwa ketika ujian jangan lupa belajar, tidak mengandung makna lebih, bahkan kecil kemungkinan menghasilkan prestasi.
Kata-kata yang dirangkai dengan tujuan positif sesuai dengan isi hati kita yang positif, menjadikan kita menyampaikan powerful words by heart dalam berkomunikasi dengan orang lain. Berkomunikasi dengan efektif adalah tidak hanya menyampaikan kata-kata, namun menyampaikan powerful words by heart.Wise men speak because they have something to say; fools because they have to say something (Plato).
Belum Ada Komentar